Kala Guruku Terbentur Komersialisme dan Materialisme

Hiruk pikuk dan carut marut pendidikan di negeri ini bagaikan tiada henti dan tiada beda dengan compang-campingnya sisi-sisi kehidupan lain masyarakat sebuah negeri yang kaya raya ini. Siapa si yang tidak tahu kalau negeri ini kaya raya. Namun sapa pula yang tidak tahu jika masih sangat banyak penduduknya yang hidup miskin? Siapa yang tidak tahu kalau sumber alam negeri ini melipah ruah, namun siapa pula yang tidak tahu kalau kita sering kekurangan bahan bakar?

Bicara soal pendidikan biasanya tidak akan pernah lepas dari beberapa hal, diantaranya: guru, siswa, sistem pendidikan, sarana prasarana dan kebijakan pemerintah. Akan tetapi jika kita mau jujur, kegagalan semuanya pada dasarnya bersumber pada satu hal, yaitu mental manusianya. Karena manusialah yang menciptakan sistem, mengelola sarana, membuat kebijakan dan melaksanakan kegiatan. Oleh karena itu kalau ingin pendidikan di negeri ini bagus dan beres, maka beresi dulu mental manusianya. Beresi mentalitas para birokratnya, beresi mentalitas para pendidiknya baru beresi segala piranti pendidikannya.

Bicara soal Manusia,
maka manusia yang paling dominan menentukan maju mundurnya pendidikan adalah para guru dan para pemangku otoritas pendidikan, baik dari masyarakat maupun pemerintah. Mari kita lihat, pengelolaan guru. Di negeri yang sudah berumur lebih dari setengah abad ini, perekrutan guru saja belum matang dan masih terkesan bernuansa politis praktis. Hal ini bisa di lihat dari riwayat munculnya PP 48 Tahun 2005. Dimana guru yang telah mengabdi di sekolah negeri secara otomatis diangkat menjadi PNS (tentu dengan bebrapa batasan yang menurut kami tidak bernuansa kualitas). Kenapa kita katakan demikian, karena tidak ada tes potensi kala pengangaktannya. Siapa yang dapat menjamin jika guru yang saat itu wiyata bakti pada sekolah-sekolah negeri adalah orang yang bermutu, bermental baik sehingga  mereka secara otomatis terdaftar sebagai calon pegawai negeri sipil ? siapa pula yang menjamin bahwa guru-guru swasta yang saat itu mengabdikan dirinya pada lembaga-lembaga pendidikan swasta adalah guru-guru kualitas kedua?  atau sebaliknya.

Melihat sistem yang demikian maka bisalah kita sedikit menyimpulkan bahwa pengadaan tenaga guru perlu dikoreksi supaya lebih baik. Mengapa demikian? Mari kita simak akibat dari kebijakan tersebut diatas. Semenjak keluarnya PP 48 tahun 2005, nampak banyak orang yang merapat ke lembaga-lembaga pemerintah sebagai tenaga honorer. Kemudian, dampak sertifikasi juga demikian. Animo orang untuk menjadi guru kembali bergairah. sangat bagus sebenarnya. Namun haruslah kita lihat, sisi-sisi lain. karena ternyata biaya untuk sekolah-sekolah keguruan pun ternyata naik drastis, seimbang dengan kucuran dana yang akan diterima jika mereka nantinya menjadi guru.