MENATA DIRI UNTUK MENJADI GURU IDOLA
Banyak
teman seprofesi yang bertanya kepada saya bagaimanakah menjadi guru
idola? Pertanyaan itu terus terang begitu menggoda dan membuat saya
melakukan refleksi dan instropeksi diri. Bertanya pada diri sendiri
apakah selama ini telah menjadi guru idola. Idola para siswa yang merasa
nyaman bila berada dalam suasana pembelajarannya. Idola para siswa
karena mampu menjadi teladan bagi anak didiknya. Bicaranya sangat
menyejukkan hati, ilmunya bak ’mata air’ yang tak pernah habis diambil,
dan kehadirannya membuat para siswa merasa belajar menjadi menyenangkan.
Mereka pun merasakan betapa nikmatnya berada di sekolah sebagai rumah
”keduaku”.
Untuk bisa menjadi guru
idola para guru harus menata diri. Memperbaiki hal-hal yang kurang tepat
dilakukan oleh guru dan senantiasa melakukan apa yang disebut belajar
sepanjang hayat. Tak ada guru yang langsung menjadi idola para siswa,
meskipun guru tersebut berwajah ganteng dan cantik. Sebab ganteng dan
dan cantik tidak menjadi jaminan guru itu menjadi guru idola. Guru idola
bukan hanya guru yang digugu dan ditiru saja, tetapi tercermin dari
tingkah lakunya yang selalu satu kata antara perkataan dan perbuatan.
Mampu memberikan keteladanan kepada teman sejawat dan anak didiknya.
Kreatif, tidak sombong, dan rendah hati kepada sesama. Gaya bahasanya
biasa saja, tidak dibuat-dibuat seperti layaknya penyair kondang.
Tetapi, bila ia bicara dan mengembangkan senyumnya membuat mereka yang
mendengarnya terdiam dan mengatakan,”inilah guru idolaku
”.
Hiduplah dengan memberi sebanyak-banyaknya.
Dalam
hidupnya, guru idola adalah guru yang senantiasa mengajarkan kepada
peserta didiknya untuk hidup dengan memberi sebanyak-banyaknya bukan
menerima sebanyak-banyaknya. Dengan prinsip tangan di atas lebih mulia
daripada tangan dibawah, membuat dirinya merasakan harus senantiasa
memberi. Memberi tidak harus dengan sesuatu yang sifatnya materi, tetapi
memberi dapat dilakukan dengan sesuatu yang sangat mudah. Sesuatu yang
sangat mudah itu adalah ‘senyum seorang guru’. Bila guru tersenyum, maka
anak didiknya akan menghampirinya dengan kedamaian hati. Namun, bila
guru tak tersenyum, maka muridpun akan berlari, dan mengatakan dalam
hatinya, “guruku tak lagi tersenyum”.
Beban hidup yang ditanggung
oleh para guru, dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya harus membuat
para guru bersabar dan terus berdoa kepada Tuhan yang Maha Pemberi.
Ketika guru sadar bahwa dirinya harus senantiasa menjadi motivator dalam
hidupnya, maka guru idola akan mengatakan pada dirinya untuk selalu
memberi dan memberi. Memberi sebanyak-banyaknya dan tak harap kembali.
Bagai sang surya yang menyinari dunia. Hidupnya seperti matahari yang
senantiasa menyinari dunia mulai dari pagi sampai petang menjelang.
Ketika malam menghampiri, guru idola tak pernah lepas berdoa untuk
selalu diberikan kekuatan oleh Tuhan agar mampu menggali ilmu
pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang dan tiada henti.
Akhirnya,
guru idola tentu akan menjadi harapan semua peserta didik. Harapan kita
semua agar pendidikan ini tampil sesuai dengan apa yang kita
cita-citakan. Guru idola harus menjadi cita-cita semua guru di sekolah
agar dunia pendidikan kita kembali tersenyum. Oleh karena itu, untuk
menjadi guru idola, mulailah dari diri sendiri, mulailah dari hal yang
kecil, mulailah banyak memberi, dan mulailah menata diri sendiri untuk
menjadi guru idola. Melalui Tata pikir, tata rasa, dan tata tindakan.
sumber:omjaylab.wordpress.com